KATA PENGANTAR
Puji
dan syukur penulis panjatkan kepada TUHAN Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan karunia-Nya, maka penulis dapat menyelesaikan makalah dengan judul “ Peristiwa Campur kode Di Ranah Sosial (Bandara) ” Proses
penyelesaian makalah ini tidak terlepas dari adanya partisipasi dari berbagai
pihak. Untuk itu, maka penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang
sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak
Alashadi Alimin,M.Pd., selaku dosen pengasuh matakuliah Sosiolinguistik yang telah memberikan arahan dan motivasi dalam
penulisan makalah.
2. Rekan-rekan
mahasiswa.
Penulisan
makalah ini, disadari oleh penulis bahwa isi di dalamnya tidak lepas dari
kekurangan dan kelemahan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun untuk
perbaikan makalah ini sangat penulis harapkan.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Bahasa merupakan unsur yang sangat penting dalam
kehidupan sehari-hari karena bahasa digunakan manusia sebagai alat komunikasi
untuk saling berbagi ide ,pendapat, dan pikiran. Bahasa merupakan suatu gejala
sosial. Pemakaian bahasa tidak hanya ditentukan oleh faktor linguistik, tetapi
juga ditentukan oleh faktor nonlinguistik (unsur pembangun di luar bahasa itu
sendiri) mislnya: tingkat pendidikan, umur, jenis kelamin, dan tingkat ekonomi.
Di dalam masyarakt multilingual, pengunaan berbagai
macam bahasa olh masyarakat memungkinkan terjadinya alih kode dan campur kode.
Alih kode merupakan pergantian pemakaian bahasa atau dialek (Ohoiwutan,
2002:71), sedangkan campur kode merupakan pencampuran dua bahasa yang dilakukan
dengan sengaja tanpa mengamati topik pembicaraan (Wardhaugh, 1992:107).
Terjadinya alih kode dan campur kode disebabkan oleh situasi pemakaian bahasa
yang beragam.
Alih kode pada hakikatnya merupakan pergantian
pemakaian bahasa atau dialek, biasanya dilakukan oleh dua pihak yang memiliki
dua komunitas bahasa yang sama (Ohoiwutun,2002:71). Menurut Nababan (1991:32)
campur kode adalah “ suatu keadaan berbahasa lain adalah bilamana orang
mencampur dua (speech act atau discoure) tanpa ada sesuatu dalam situasi bahasa
itu yang menuntu pencampuran bahasa itu “ selain itu, campur kode merupakan
adanya pengunaan unsur-unsur bahasa lain ketika pemakaian bahasa tertenti
dangan disengaja dalam percakapan. Denan kata lain, campur kode terjadi apabila
ada seseorang mencampur dua atua lebih bahasa atau ragam bahasa.
Dalam penelitin ini akan dianalisis sebuah peristiwa
campur kode di ranah sosial (bandara). Peristiwa campur kode di ranah sosial
(bandara) sebagai objek penelitian berdasarkan asumsi bahwa peristiwa campur
kode di ranah sosial (bandara) tersebut terdapat variasi bahasa. Variasi bahasa
yang dimaksud adalah variasi bahasa daerah (bahasa Batak), bahasa Indonesia, dan bahasa Asing.
Analisis difokuskan pada aspek kebahasaan, faktor
penyebab terjadinya alih kode dan campur kode, dan dampak yang ditimbulkan dari
peristiwa alih kode dan campur kode. Aspek kebahasaan yang diteliti yaitu
penyisipan unsur yang berwujud kata dianalisis berdasarkan makna kata tersebut,
jenis kata (kata sifat, kata benda, dan kata kerja) kedudukanya di dalam
kalimat (sebagai subjek, predikat, objek, dan keterangan).
Penelitian terdapat faktor penyebab terjadinya
campur kode mencakup alasan seseorang dalam melakukan campur kode yaitu
membicarakan mengenai topik tertentu, mengutip pembicaraan orang lain,
mempertegas sesuatu, pengisi dan penyambung kalimat. Alasan lain seseorang
melakukan campur kode yaitu perulangan untuk mengklarifikasi, bermaksud untuk
mengklarifikasi isi pembicaraan kepada lawan bicara menunjukan identitas suatu
kelompok, untuk memperhalus atau mempertegas permintaan, kebutuhan leksikal,
dan keefisiensian suatu pembicaraan.
B.
Fokus
Penelitian
Berdasarkan
uraian dari latar belakang diatas, masalah umum dalam penelitian
ini,”Bagaimanakah bentuk campur kode di ranah sosial (bandara)?”. Masalah umum
tersebut dibatasi menjadi sub masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana
aspek kebahasaan yang terkandung di ranah sosial (bandara)?
2. Apakah
penyebab terjadinya campur kode di ranah sosial (bandara)?
3. Apakah
dampak yang ditimbulkan dari alih kode dan campur kode yang terjadi di ranah
sosial (bandara)?
C.
Tujuan
Penelitian
Berdasarkan
rumusan masalah penelitian, maka tujuan penelitian sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan
aspek-aspek kebahasaan yang terdapat di ranah sosial (bandara).
2. Mendeskripsikan
penyebab terjadinya campur kode di ranah sosial (bandara).
3. Mendeskripsikan
dampak yang ditimbulkan dari alih kode dan campur kode yang terjadi di ranah
sosial (bandara).
D.
Manfaat
Penelitian
Penelitian
ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut.
1. Manfaat
Teoritis
Manfaat dari hasil
penelitian ini, dapat menjadi mesukan yang bermanfaat bagi pengembangan
penelitian bahasa. Menambah atau memberikan sumbangan bagi ilmu pengetahuan
khususnya di bidang sosiolinguistik.
2. Manfaat
Praktis
a. Bagi
peneliti, penelitian peristiwa campur kode di ranah sosial (bandara) akan
memberikan penambahan wawasan dalam menyelesaikan masalah yang ada dan sebagai
dasar untuk penelitian lebih lanjut.
b. Bagi
mahasiswa, hasil penelitian ini dapat dimanfatkan oleh mahasiswa sebagai bahan
bacaan atau referensi untuk memahami teori sosiolinguistik yang berkaitan
dengan peristiwa campur kode di ranah sosial (bandara), khususnya mahasiswa
Jurusan PBS (Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia).
c. Bagi
dosen, menambah wawasan dan pengetahuan mengenai sosiolinguistik khususnya
peristiwa campur kode di ranah sosial (bandara).
BAB
II
KAJIAN
TEORI
A.
Komponen
Tutur
Pemakaian
bahasa ditentukan oleh faktor linguistik dan faktor non linguistik. Faktor non linguistik
juga berkitan dengan faktor sosial dan kultural.Menutut Hymes (Rahardi,
2001:27) menyatakan bahwa faktor luar bahasa (extra linguistik) yang dikatakan sebagai penentu penggunaan bahasa
dalam bertutur itu dapat pula disebut sebagai komponen tutur (components of speech).
Ada
delapan komponen yang berpengaruh terhadap pemilihan kode dalam bertutur. Menurut
Hymes (Rahardi, 2001:29) menyatakan bahwa komponen tersebut antara lain, tempat
dan suasana tutur, perserta tutur, tujuan tutur, pokok tuturan, nada tutur,
sarana tutur, norma tutur, dan jenis tuturan yang selanjutnya disebut
“speaking” (settings, participants, ends, act sequences, keys, instruments,
norms, dan genres. Berikut ini diberikan penjelasannya.
1. Settings
(tempat dan suasana tutur)
Digunakan
untuk menunjukan kepada aspek tempat dan waktu dari terjadinya sebuah tuturan.
Suasana tuturan berkaitan erat dengan faktor psikologis sebuah tuturan.
2. Participants
(perserta tutur)
Perserta
tutur menunjukan kepada minimal dua pihak dalam bertutur.
3. Ends
(tujuan tutur)
Tujuan
dari peristiwa dalam suatu masyarakat diharapkan sesuai dengan tujuan dari
warga masyarakat itu. Sebuah tuturan mungkin saja dimaksudkan untuk
menyampaikan informasi atau buah pikiran.
4. Act
sequences (pokok pikiran)
Pokok
tuturan merupakan bagian dari komponen yang tidak pernah tetap, artinya bahwa
pokok tuturan itu akan selalu berubah dalam dalam deretan pokok-pokok tuturan
dalam peristiwa tutur.
5. Keys
(nada tutur)
Nada
tutur menunjuk kepada nada, cara, dan motivasi suatu tindakan yang dapat
dilakukan dalam bertutur.
6. Instruments
(sarana tutur)
Sarana
tutur menunjuk kepada saluran tutur (channels)
dan bentuk tutur (form of speech).
Saluran tutur yang dapat dimunculkan oleh penutur dan sampai kepada mitra
tutur. Sarana yang dimaksud dapat berupa saluran lisan, saluran tertulis,
bahkan dapat pula lewat sandi-sandi atau kode tertentu.
7. Norms
(norma tutur)
Norma
tutur dibedakan menjadi dua, yaitu norma interaksi (interpretation norms) dalam
bertutur. Norma intraksi menunjuk kepada dapat atau tidaknya sesustu dilakukan
oleh seseorang dalam bertutur dengan mitra tutur. Di samping itu, norma
interpretasi masih memungkinkan pihak-pihak yang terlibat dalam komunikasi
untik memberikan interpretasi terhadap mitra tutur khususnya manakala yang
terlibat dalam komunikasi adalah warga dari komunitas tutur yang berbeda.
8. Genres
(jenis tutur)
Jenis
tutur menunjuk kepada jenis kategori kebahasaan yang dituturkan. Jenis tutur
tersebut menyangkut kategori wacana seperti percakapan, cerita, pidato, dan
semacamnya.
Berdasarkan
pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa komponen tutur adalah
faktor luar bahasa yang sebagai penentu pengunaan bahasa dalam bertutur.
Komponen-komponen yang berpengaruh terhadap pemilihan kode di ranah sosial
(bandara) antara lain tempat dan suasana tutur, komponen yang kedua yaitu
perserta tutur, komponen yang ketiga yaitu tujuan tutur, komponen yang keempat
yaitu pokok tuturan, komponen yang kelima yaitu nada tutur, komponen yang
keenam yaitu sarana tutur, komponen yang ketujuh yaitu norma tutur. Yang
terakir yaitu jenis tutur.
B.
Kode
Ketika
seseorang akan berkomunikasi dengan yang lainya, ia akan memilih kode yang
tepat atau sesuai dengan keadaan ketika pembicaraan berlangsung. Menurut
Haryanto dkk (Anwar, 2000: 15-16) kode adalah suatu istilah yang digunakan
sebagai pengganti dari bahasa, ragam bahasa atau dialek. Sedangkan menurut
Wardhaugh (Alashadi Alimin, 1992:89), “ code
can be used to refer to any kind of system that two or more pepole employ for
communication”. Diartikan bahwa kode digunkan oleh dua orang atau lebih
dalam berkomunikasi untuk menyampaikan maksud. Jadi, kode mengacu pad sistem
bahasa yang dipakai didalam berkomunikasi.
Menurut
Poedjosoedarmo (Rahardi, 2001:21-22) menyatakan bahwa kode dapat didefenisikan
sebagai suatu sistem tutur yang penerapan unsur bahasanya mempunyai ciri khas
sesuai dengan latar belakang penutur, relasi penutur dengan lawan bicaranya,
dan situasi tutur yang ada. Kode biasanya berbentuk varian bahasa yang secara
nyata dipakai berkomunikasi oleh anggota suatu masyarakat bahasa.
Seorang
yang melakukan pembicaraan sebenarnya mengirimkan kode-kode kepada lawan
bicaranya. Pateda (Alashadi Alimin, 1987:83) menyatakan bahwa pengkodeaan ini
melalui suatu proses yang terjadi baik pada pembicara, hampa suara, dan lawan
bicara. Kode-kode itu harus dimengerti oleh oleh kedua belah pihak. Kalau yang
sepihak memahami yang dikodekan oleh lawan bicaranya, maka ia pasti akan
mengambil keputusan dan bertindak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan.
Menurut Suwito (Alashadi Alimin, 1985:67), kode adalah salah satu
variasi dalam hierarki kebahasaan. Selanjutnya
diberi ilustrasi, misalnya kita mengatakan bahwa
“manusia adalah makhluk-makhluk berbahasa (homo
lingual)”, yang dimaksud bahasa di sini adalah
alat verbal yang digunakan manusia untuk berkomunikasi. Alat komunikasi
yang merupakan alat variasi bahasa dikenal dengan kode. Dalam bahasa
terkandung beberapa macam kode, di dalam
satu kode terdapat kemungkinan variasi rasional, untuk
kelas sosial, gaya maupun register. Dengan demikian, bahasa
merupakan level yang paling atas disusul
dengan kode yang terdiri atas varian-varian dan ragam serta gaya
dan register sebagai sub-sub.
Menurut Kridalaksana (Alashadi Alimin, 1984:102) kode diartikan sebagai (1) lambang
suatu sistem ungkapan
yang dipakai untuk menggambarkan makna tertentu, (2)
sistem bahasa dalam satu masyarakat, (3) suatu varian tertentu dalam satu
bahasa.
C.
Alih Kode
Alih kode
atau code switching adalah peristiwa peralihan dari satu kode ke kode
yang lain dalam suatu peristiwa tutur. Misalnya, penutur menggunakan bahasa
Indonesia beralih menggunakan bahasa Inggris. Alih kode merupakan salah satu
aspek ketergantungan bahasa (language dependency) dalam masyarakat
multilingual. Dalam alih kode masing-masing bahasa cenderung masih mendukung
fungsi masing-masing dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.
Menurut Nababan (Alashadi Alimin, 1984:31)
menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita
beralih dari satu ragam bahasa yang satu ke ragam yang lain. Misalnya, ragam
formal ke ragam santai, dari kromo inggil (bahasa jawa) ke bahasa ngoko dan
lain sebagainya. Sedangkan menurut Kridalaksana (Alashadi Alimin, 1982:7)
mengemukakan bahwa penggunaan variasi bahasa lain untuk menyesuaikan diri
dengan peran atau situasi lain, atau karena adanya partisipasi lain disebut
alih kode. Holmes ( Alashadi Alimin, 2001:35) menegaskan bahwa suatu alih kode
mencerminkan dimensi jarak sosial, hubungan status, atau tingkat formalitas
interaksi para penutur.
Berdasarkan
pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa alih kode merupakan gejala peralihan
pemakaian bahasa karena perubahan peran dan situasi. Alih kode
menunjukkan adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual dan
situasional yang relevan dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.
D. Campur Kode
1.
Pengertian Campur Kode
Dalam
peristiwa tutur, campur kode juga sering digunakan. Pengertian campur kode
menurut Nababan (Alashadi Alimin, 1991:32), “suatu keadaan berbahasa lain (speech act atau discoure) tanpa ada
sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu. Dalam
keadaan yang demikian, hanya kesantaian penutur dan atau kebiasaannya yang
dituruti”.
Menurut Chaer
(Alashadi Alimin, 2004:114) menyatakan bahwa didalam campur kode ada sebuah
kode utama atau kode dasar yang digunakan dan memiliki fungsi dan keotonomianya
, sedangkan kode-kode lain yang terlibat dalam peristiwa tutur itu hanyalah
berupa serpihan-serpihan (pieces)
saja, tanpa fungsi atau keotonomian sebagai sebuah kode. Akan tetapi, campur
kode menurut pendapat Wardhaugh (Alashadi Alimin, 1992:107), “conversational cede-mixing involves the
deliberate mixing of two languages wit hout an associated topic change”.
Campur kode meliputi pencampuran dua bahasa yang dilakukan dengan sengaja tanpa
mengganti topik pembicaraan.
Thelander
(chair, 2004:115) menjelaskan bahwa apabila suatu peristiwa tutur, klusa-klausa
maupun frasa-frasa yang digunakan terdiri dari klausa dan frasa campuran (hybrid clauses, hybrid pharases), dan
masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi
sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah peristiwa campur kode.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alashadi Alimin, 2005:190), campur kode adalah
pengunaan satuan bahasa dari suatu bahasa ke bahasa lain untuk memperluas gaya
bahasa atau ragam bahasa, dimana pemakaianya berupa kata, klausa, idiom,
sapaan, dan sabagainya.
2.
Jenis dan Faktor Penyebab Terjadinya Campur Kode
Muysken (Alashadi
Alimin, 2000:3) membagi campur kode menjadi tiga jenis, yaitu “ insertion of material lexical items or
entire constituent from one language into a structure from the other lnguage,
alternation between structures from language, and congruent lexicalization of
material from different lexical inventories into a shared grammatical structure”.
Menurut Musyken, campur kode terbagi menjadi tiga, yaitu penyisipan (bentuk
leksikal atau keseluruhan unsur pokok dari suatu bahasa kedalam suatu struktur
bahasa lain, persilangan antara struktur-struktur bahasa, dan kongruen leksikal
yang berbeda kedalam struktur grametikal bersama-sama.
Chaer (Alashadi
Alimin, 2004:116) menyatakan, “ campur kode itu dapat berupa pencampuran
serpihan kata, frasa, dan klausa suatu bahasa di dalam bahasa lain yang
digunakan “. Hal ini serupa dengan pendapat Suwita (Wibowo, 2006:23-24) yang
menyatakan bahwa berdasarkan unsur-unsur bahasa yang terlibat di dalamnya,
campur kode dapat dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu penyisipan
unsur-unsur yang berwujud bentuk baster, penyisipan unsur-unsur yang berwujud
kata ulang, penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom, dan
penyisipan unsur-unsur yang berwujud klausa.
BAB III
PERISTIWA
CAMPUR KODE DI RANAH SOSIAL (BANDARA)
A. Metode Penelitian
1.
Tempat Penelitian
Penelitian berlangsung di ranah
sosial (bandara), penelitian pertama: pada hari
Sabtu tanggal 27 September 2014 Pukul 11:25 hingga selesai, sedangkan
penelitian kedua dilakukan pada hari Minggu tanggal 01 November 2014 pukul 10:00 hingga selesai.
2.
Sumber Data
Data yang diperoleh dalam penelitian
ini bersumber dari bahasa lisan yang berupa rekaman suara yang terjadi di ranah
sosial (bandara).
3.
Pelaku
Adapun pelaku di dalam penelitian ini adalah masyarakat yang
ada di ranah sosial (bandara).
Penelitian
ini dilaksanakan di ranah sosial (bandara), adapun waktu yang dibutuhkan selama
penelitian yaitu selama lima minggu. Penelitian ini adalah penelitian
deskriptif kualitatif. Peneliti berupaya mendeskripsikan peristiwa alih kode
dan campur kode yang terjadi di ranah sosial (bandara) berdasarkan dengan
keadaan yang sebenar-benarnya.
Strategi
penelitian yang digunakan adalah analisis isi (content analysis), yaitu manganalisis hasil dokumen berupa rekaman
suara tindak tutur yang mengandung unsur alih kode dan campur kode dalam
kegiatan komunikasi di ranah sosial (bandara).
B. Hasil Penelitian dan Pembahasan Hasil Penelitian
1.
Terjadinya alih kode dan campur kode di ranah sosial
(bandara)
Suwito
(Alashadi Alimin, 1985:77) mengungkapkam latar belakang terjadinya campur kode
yang pada dasarnya dapat dikategorikan menjadi dua tipe yaitu: tipe yang berlatar
belakang pada sikap (attitudinal
type) dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan
(linguistic type). Kedua tipe itu saling bergantung dan tidak jarang tumpang
tindih (overlap). Sedangkan Menurut Nababan (Alashadi Alimin, 1984:31)
menyatakan bahwa konsep alih kode ini mencakup juga kejadian pada waktu kita
beralih dari satu ragam bahasa yang satu ke ragam yang lain.
Hasil
penelitian mengenai alih kode di ranah sosial (bandara). Masyarakat yang ada di
sekitar bandara masih menggunakan dua bahasa (Batak dan Indonesia) sebagai alat
komunikasi dalam situasi nonformal atau santai. Masyaraat yang ada di ranah
sosial (bandara) lebih memilih menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa Batak
dalam berkomunikasi.
Masyarakat
yang ada di lingkungan bandara pada umumnya menggunakan bahas Indonesia sebagai
alat tutur dan sering kali beralih dan bercampur ke dalam bahasa Batak ataupun
sebaliknya. Hal itu disebabkan karena adanya setatus sosial dan faktor
kebiasaan menggunakan bahasa daerah (Batak). Oleh sebab itu saat kegiatan
komunikasi berlangsung masyarakat yang berada di lingkungan sosial (bandara)
menggunakan dua bahasa yaitu, bahasa Indonesia dan bahasa Batak sehingga
terjadi alih kode dan campur kode.
Alih kode
yang berupa peralihan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Batak ditemukan
dalam kegiatan komunikasi yang terjadi di ranah sosial (bandara). Hal demikian
tentu membuat masyarakat lebih cenderung beralih kode ke dalam bahasa Batak,
karena saat masyarakat yang ada di ranah sosial (bandara) mengunakan bahasa
Batak mereka berusaha menyesuaikan tingkat tutur dengan lawan bicaranya
sehingga mereka dapat berkomunikasi dengan baik. Berikiut ini data yang
menunjukan peristiwa tutur yang ditemui adanya alih kode yang dilakukan oleh
masyarakat di ranah sosial (bandara) sebagai berikut:
Data 1
O1 : syukurlah harai ini nga
terlalu panas
O2 : koreke sonoru holongu
O1 : hono lungu
O2 : mana tong sampah
O1 : homo gi dimana
O2 : saleng kana
O1 : hati-hati berat itu
O2 :
inikan 15 kg
O1 : bapak tunggu saja
O2 : tapi nga disitu tempat
tunggunya
O1 : nag lah
O2 : turun nanti jatuh
O1 : ana boi ana inga
O2 : nanti kita dai akai ito
O1 : nana gade hingai ida
O2 : ide sada oko nai te
O1 : tolong itai
O2 : iga aga
O1 : mari bg
Data di atas
merupakan tuturan atau komunikasi yang terjadi di ranah sosial (bandara).
Awalnya masyarakat di sekitar bandara menggunakan bahasa indonesia, yakni pada
tuturan, “syukurlah hari ini nga terlalu panas”, kemudian tuturan bahasa
Indonesia itu berubah menjadi tuturan bahasa Batak yakni pada tuturan, “koreke
sonoru holongu”.
Penutur yang
ada di ranah sosial (bandara) berkomunikasi dengan mitra tuturnya menggunakan
bahasa Indonesia dan bahasa Batak. Terjadinya alih kode di ranah sosial (bandara), karena masyarakat
masih dominan menggunakan bahasa Ibu (Batak), sehingga pada saat masyarakat
berkomunikasi mereka sering menggunakan bahasa Batak dan bahasa Indonesia yang
dilakukan secara bergantian.
Alih kode
ini terjadi karena masyarakat yang ada di sekitar bandara lebih biasa
menggunakan bahasa Batak dan mereka merasa akrab jika mereka menggunkan bahasa Batak. Jadi dengan sadar masyarakat
yang ada di ranah sosial (bandara) mengganti bahasanya dengan bahasa
sehari-hari, yakni bahasa Batak, dengan tujuan untuk mempelancar komunikasi.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa alih kode tersebut adalah dari bahasa
Indonesia ke bahasa Batak dan dari bahasa Batak ke bahasa Indonesia.
Berikut ini
data yang menunjukan peristiwa tutur yang ditemui adanya campur kode yang
dilakukan oleh masyarakat di ranah sosial (bandara) sebagai berikut:
Data 2
O1 :
Hai....dari mana?
O1 :
Tadi Aika naik apa? Pesawat?
O2 :
pesawat
O3 :
Tidur dia
O1 :
Apa....tidur!
O1 :
Naik pesawat dia
Data 3
O1 :
Dah berani dah dia Allahhuakbar....dah
berani
O2 :
Nga da kata-kata lain kah selain kata-kata gampang
O3 : Perhatian-perhatian kepada Kahutaruna
dan Nasution, pangilan
Kepada Kahutaruna dan Nasution dengan nomor
penerbangan Gb 713 tujuan Jakarta untuk masuk melalui pintu dua. Attention please!
O3 :
Perhatian pesawat Gb 688 dari Jakarta mendarat pada pukul 12:28. Attention please! Pek number Gb six eighty
eight Jakarta thank you.
Data di atas menunjukan bahwa telah terjadi campur
kode di ranah sosial (bandara). Awalnya masyarakat di sekitar bandara
menggunakan bahasa Indonesia sebagai alat untuk berkomunikasi yakni pada
tuturan, ”kepada Kahutaruna dan Nasution dengan nomor pernerbangan Gb 713
tujuan Jakarta untuk masuk melalui pintu dua” , kemudian tuturan bahasa
Indonesia itu berubah menjadi tuturan bahasa Asing yakni pada tuturan, “Attention please”. Campur kode yang terjadi di ranah sosial (bandara) dikarenakan
adanya faktor kebiasaan dan keinginan menjelaskan sesuatu/maksud kepada
khalayak umum.
Pada data pertama penyisipan unsur bahasa Batak lebih
banyak digunkan dari pada bahasa Indonesia yaitu berjumblah tiga puluh satu (31)
kata, sedangkan penyisipan unsur bahasa Indonesia berjumblah dua puluh sembilan
(29) Kata. Pada data kedua dan ketiga penyisipan unsur bahasa Indonesia
berjumblah lima puluh delapan (58) kata, sedangkan penyisipan unsur bahasa Asing berjumblah empat belas
(14) kata.
Setelah dilakukan penelitian secara saksama, alih kode
dan campur kode yang terjadi di ranah sosial (bandara), yaitu alih kode internal dan campur kode keluar (Outer-Code Mixing). Alih kode internal meliputi: alih kode dari bahasa
Indonesia ke bahasa Batak dan campur kode dari bahasa indonesia ke bahasa
Asing.
C. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Alih Kode dan Campur
Kode di Ranah Sosial (Bandara)
Menurut Suwito (Alashadi Alimin, 1985:72)
mengemukakan beberapa faktor penyebab terjadinya alih kode, yaitu:
1.
Penutur
Seorang penutur kadang-kadang dengan
sadar berusaha beralih kode terhadap lawan tuturnya karena suatu maksud. Hal
ini dilakukan dengan maksud mengubah
situasi, misalnya dari situasi resmi ke situasi tak resmi.
2.
Lawan Tutur
Alih kode juga dilakukan dengan
maksud ingin mengimbangi bahasa yang digunakan oleh lawan tuturnya.
3.
Hadirnya Penutur Ketiga
Alih kode dilakukan karena kehadiran
orang ketiga dalam situasi tutur karena berbeda latar belakang kebahasaanya.
Hal ini dilakukan untuk netralisasi situasi dan sekaligus menghormati hadirnya
orang ketiga tersebut.
4.
Pokok Pembicaraan (topik)
Alih kode terjadi karena berubahnya
pokok pembicaraan, misalnya dari pokok pembicaraan yang bersifat formal beralih
ke pokok pembicaraan yang bersifat informal.
5.
Untuk membangkitkan rasa humor
6.
Untuk sekedar bergensi
Penelitian
ini menemukan beberapa faktor penyebab terjadinya alih kode dan campur kode
antara penutur dan mitra tutur saat kegiatan komunikasi terjadi di ranah sosial
(bandara). Faktor-faktor penyebab alih kode meliputi: 1) penutur (O1), 2) lawan
tutur (O2), 3) hadirnya penutur ketiga, 4) pokok pembicaraan (topi), 5) ingin
menjelaskan sesuatu/maksud tertentu, 6) membangkitkan rasa humor. Sementara
alasan yang bisa menjelaskan menggapa masyarakat yang ada di ranah sosial
(bandara) melakukan alih kode, karena masyarakat masih dominan menggunakan
bahasa Ibu (Batak), sehingga pada saat masyarakat berkomunikasi mereka sering
menggunakan bahasa Batak dan bahasa Indonesia yang dilakukan secara bergantian.
D. Dampak Alih Kode dan Campur Kode yang Terjadi di Ranah
Sosial (bandara)
Peristiwa
alih kode dan campur kode yang terjadi di ranah sosial (bandara) yang dilakukan
oleh masyarakatnya berdampak positif dan negatif. Dampak positif, terjadinya
alih kode dan campur kode dalam kegiatan komunikasi yang terjadi di ranah sosial (bandara), yaitu
antara penutur dan mitra tutur merasa
lebih akrab, penggunaan bahasa Batak dan bahasa Indonesia akan membantu penutur
untuk menyampaikan maksud dan tujuan kepada mitra tutur, dan membangkitkan rasa
humor.
Dampak
negatif, terjadinya alih kode dan campur kode dalam kegiatan komunikasi yang
terjadi di ranah sosial (bandara), yaitu: rusaknya tatanan bahasa indonesia
yang diakibatkan dari terjadinya interferensi dan integrasi, serta dengan
adanya alih kode dan campur kode penggunaan bahasa Indonesia tidak dilakukan
secara baik dan benar.
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Indonesia
merupakan negara yang mempunyi masyarakat bilingual dan multilingual, sehingga
masyarakat Indonesia dapat berbahasa lebih dari satu bahasa. Dalam menggunakan
bahasa dapat terjadi penyisipan unsur-unsur yang berasal dari bahasa daerah
maupun bahasa asing sehingga terjadi alih kode dan campur kode.
Berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.
Wujud alih kode dan campur kode yang terjadi dalam
kegiatan komunikasi di ranah sosial (bandara)
berupa alih kode interen dan campur
kode keluar (Outer-Code Mixing). Alih
kode interen meliputi: alih kode dari
bahasa Indonesia ke bahasa Batak, dari bahasa Batak ke bahasa Indonesia,
sedangkan campur kode keluar (Outer-Code
Mixing) meliputi: campur kode dari bahasa Indonesia ke bahasa Asing.
Pada data
pertama penyisipan unsur bahasa Batak lebih banyak digunkan dari pada bahasa
Indonesia yaitu berjumblah tiga puluh satu (31) kata, sedangkan penyisipan unsur
bahasa Indonesia berjumblah dua puluh sembilan (29) Kata. Pada data kedua dan
ketiga penyisipan unsur bahasa Indonesia berjumblah lima puluh delapan (58)
kata, sedangkan penyisipan unsur bahasa
Asing berjumblah empat belas (14) kata.
2. Faktor-faktor penyebab terjadinya alih kode
dalam kegiatan komunikasi di ranah sosial (bandara) dibedakan oleh beberapa
fator yakni: 1) penutur (O1), 2) lawan tutur (O2), 3) hadirnya penutur ketiga,
4) pokok pembicaraan (topik), 5) ingin menjelaskan suatu/maksud tertentu, 6)
untuk membangkitkan rasa humor.
3. Dampak yang ditimbulkan dari alih kode dan
campur kode yang terjadi di ranah sosial (bandara). Dampak positif, terjadinya
alih kode dan campur kode dalam kegiatan komunukasi yang terjadi di ranah
sosial (bandara), yaitu antara penutur dan mitra tutur merasa lebih akrab,
pengunaan bahasa Batak, bahasa Indonesia, dan bahasa Asing. akan membantu
penutur untuk menyampaikan maksud dan tujuan kepada mitra tutur, dan
membangkitkan rasa humor. Dampak negatif, terjadinya alih kode dan campur kode
dalam kegiatan komunikasi yang terjadi di ranah sosial (bandara), yaitu:
rusaknya tatanan bahasa indonesia yang diakibatkan dari terjadinya interferensi
dan integrasi, serta dengan adanya alih kode dan campur kode pengunaan bahasa
Indonesia tidak dilakukan secara baik dan benar.
B. Saran
Adanya alih
kode dan campur kode dalam kegiatan komunikasi dapat memengaruhi sistematika
bahasa Indonesia yang baik dan benar. Masyarakat akan menjadi terbiasa dengan
pengunaan campur kode dan dikahwatirkan dapat merusak fungsi bahasa Indonesia.
Penggunaan alih kode dan campur kode yang terlalu sering juga berdampak negatif
pada pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia.
Adapun
beberapa saran dalam peristiwa campur kode di ranah sosial (bandara) dapat
dimaksimalkan sebagai berikut:
1.
Bagi peneliti, disarankan kepada peneliti selanjutnya
supaya melakukan penelitian tentang bentuk alih kode dan campur kode yang lebih
luas, seperti campur kode yang mengalami proses morfologis, serta
mengikutsertakan fungsi dan tujuan campur kode.
2.
Bagi mahasiswa, disarankan kepada mahasiswa supaya
dalam melakukan kegiatan komunikasi
untuk lebih mengetahui bentuk alih kode dan campur kode.
3.
Bagi dosen, disarankan kepada dosen untuk lebih
memahami mengenai sosiolinguistik khususnya peristiwa alih kode dan campur
kode.
DAFTAR
PUSTAKA
Chear, Abdul dan Agustina Leoni. 2010. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal.
Jakarta: Rineka
Cipta.
Rahardi, Kunjana. 2001. Sosiolinguistik Kode dan Alih Kode.
Yogyakarta.
Nawawi, Hadari. 1991. Metode Penelitian Bidang Sosial.
Yogyakarta:
Gajah, Mada University press.
Harimurki Kridalaksana. 1982. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung:
Angkasa.
Janet Holmes. 2001. An introduction to Sociolinguistics. Edinburgh:
Person Education Limited.
P.W.J.Nababan, 1986. Sosiolinguistik Suatu Pengantar.
Jakarta: Gramedia.
Sumarsono dan Paina Pratama. 2004. Sosiolinguistik. Yogyakarta:Sabda.
Poejosoedarmo,Soepomo. 1976. Kode dan Alih kode. Yogyakarta:
Balai Penelitian Bahasa.
Wijan,I Dewa Putu dan Rohmadi Muhammad.
2012. Sosiolinguistik. (Kajian Teori dan
Analisis). Yogyakarta:Pustaka Pelajar.
Ohoiwutun, Paul. 2002. Sosiolinguistik. Jakarta: Kesain Blanc.
Kentjono, Djoko. 1982. Dasar-Dasar Linguistik Umum. Jakarta:
Fakultas Sastra.
Departemen Pendidikan Nasional. 2005.
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.